Kamis, 09 Desember 2010

ALGA SEBAGAI ALTERNATIF BIODIESEL

A. Pendahuluan

 

            Alga adalah salah satu organisme yang dapat tumbuh pada rentang kondisi yang luas di permukaan bumi. Alga biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau benda-benda yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Alga dapat hidup hampir di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air dan karbon-dioksida.
            Secara teoritis, produksi biodiesel dari alga dapat menjadi solusi yang realistik untuk mengganti solar. Hal ini karena tidak ada feedstock lain yang cukup memiliki banyak minyak sehingga mampu digunakan untuk memproduksi minyak dalam volume yang besar.
            Tumbuhan seperti kelapa sawit dan kacang-kacangan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk dapat menghasilkan minyak supaya dapat mengganti kebutuhan solar dalam suatu negara. Hal ini tidak realistik dan akan mengalami kendala apabila diimplementasikan pada negara dengan luas wilayah yang kecil.
            Berdasarkan perhitungan, pengolahan alga pada lahan seluas 10 juta acre (1 acre = 0.4646 ha) mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti seluruh kebutuhan solar di Amerika Serikat. Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan yang sekarang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (sekitar 1 milliar acre). Diperkirakan alga mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya.
            Semua jenis alga memiliki komposisi kimia sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) dan nucleic acids. Prosentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Ada jenis alga yang memiliki komponen fatty acids lebih dari 40%. Dari komponen fatty acids inilah yang akan diekstraksi dan diubah menjadi biodiesel. Biodiesel dari alga hampir mirip dengan biodiesel yang diproduksi dari tumbuhan penghasil minyak (jarak pagar, sawit, dll) sebab semua biodiesel diproduksi menggunakan triglycerides (biasa disebut lemak) dari minyak nabati/alga.
            Alga memproduksi banyak polyunsaturates, dimana semakin tinggi kandungan lemak asam polyunsaturates akan mengurangi kestabilan biodiesel yang dihasilkan. Di lain pihak, polyunsaturates memiliki titik cair yang lebih rendah dibandingkan monounsaturates sehingga biodiesel alga akan lebih baik pada cuaca dingin dibandingkan jenis bio-feedstock yang lain. Diketahui kekurangan biodiesel adalah buruknya kinerja pada temperatur yang dingin sehingga biodiesel alga mungkin akan dapat mengatasi masalah ini.

B. Penelitian Pembuatan Biodiesel dari Alga

            Banyak penelitian sudah dilakukan untuk mendapatkan minyak dari alga. Paten-paten yang telah didaftarkan adalah mengenai bagaimana proses penanaman alga untuk biodiesel, dan cara ekstraksi minyak dari alga. Berikut adalah beberapa contoh penelitian yang sudah dipatenkan.

  1. Cara penanaman alga untuk biodiesel

      Sama seperti tumbuhan lainnya, alga juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air. Alga menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan, alga, dan beberapa bakteri untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula, fiksasi nitrogen menjadi asam amino, dll. Alga menangkap energi dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakaannya untuk mengubah substansi inorganik menjadi senyawa gula sederhana.
      1. Alga dapat ditanam di kolam terbuka dan danau.
      Penggunaan sistem terbuka ini dapat membuat alga mudah diserang oleh kontaminasi spesies alga lain dan bakteri. Akan tetapi, saat ini telah berhasil dikembangkan beberapa spesies alga yang mampu ditanam pada lahan terbuka dan meminimalisir adanya kontaminasi spesies lain. Misalnya penanaman spirulina pada suatu kolam terbuka dapat menghilangkan kemungkinan kontaminasi spesies lain secara luas karena spirulina bersifat agresif dan tumbuh pada lingkungan dengan pH yang sangat tinggi. Sistem terbuka juga memiliki sistem kontrol yang lemah, misalnya dalam mengatur temperatur air, konsentrasi karbon dioksida & kondisi pencahayaan. Sedangkan keuntungan penggunaan sistem terbuka adalah metode ini merupakan cara yang murah untuk memproduksi alga karena hanya perlu dibuatkan sirkuit parit atau kolam.
      Kolam tempat pembudidayaan alga biasanya disebut “kolam sirkuit”. Dalam kolam ini, alga, air dan nutrisi disebarkan dalam kolam yang berbentuk seperti sirkuit. Aliran air dalam kolam sirkuit dibuat dengan pompa air. Kolam biasanya dibuat dangkal supaya alga tetap dapat memperoleh sinar matahari karena sinar matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas.
      Sebuah variasi kolam terbuka adalah dengan memberikan atap transparan (greenhouse) diatasnya untuk melindungi kerusakan alga dari percikan air hujan. Namun begitu, cara ini hanya dapat diaplikasikan pada kolam terbuka yang berukuran kecil dan tidak dapat mengatasi banyak masalah yang terjadi pada sistem terbuka.
2. Penanaman dalam photobioreactor
      Alternatif lain cara pembudidayaan alga adalah dengan menanamnya pada struktur tertutup yang disebut photobioreactor, dimana kondisi lingkungan akan lebih terkontrol dibandingkan kolam terbuka. Sebuah photobioreactor adalah sebuah bioreactor dengan beberapa tipe sumber cahaya, seperti sinar matahari, lampu fluorescent, led. Quasi-closed systems (sebuah kolam yang ditutupi dengan bahan transparan (greenhouse) di semua bagian) dapat digolongkan sebagai photobioreactor. Photobioreactor juga memungkinkan dilakukannya peningkatan konsentrasi karbon dioksida di dalam sistem sehingga akan mempercepat pertumbuhan alga. Meskipun biaya investasi awal dan biaya operasional dari sebuah photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan kolam terbuka, akan tetapi efisiensi dan kemampuan menghasilkan minyak dari photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan dengan kolam terbuka. Hal ini akan membuat pengembalian biaya modal dan biaya operasional dengan cepat.

2.    Cara ekstraksi minyak dari alga

            Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal sehingga masih harus dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber biodiesel. Terdapat beberapa metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga, antara lain:
1.            Pengepresan (Expeller/Press)
            Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 - 75% minyak yang terkandung dalam alga.
2.    Hexane solvent oil extraction
      Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan menggunakan benzena dan eter.
Namum begitu, penggunaan larutan kimia heksana lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal.
Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas (pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga. Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclo-hexane. Untuk memisahkan minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih dari 95% minyak yang terkandung dalam alga.
      Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.
3.    Supercritical Fluid Extraction
      Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga.
Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan.
4.    Osmotic Shock
      Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode osmotic shock memang banyak digunakan untuk mengeluarkan komponen-komponen dalam sel, seperti minyak alga ini.
5.    Ultrasonic Extraction
      Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat gelembung kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan (liquid jets) yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar bercampur dengan larutan.

C. Penutup

            Penelitian mengenai Pembuatan biodiesel dari alga harus terus dikembangkan sebagai sumber energi pengganti bahan bakar yang ada sekarang. Selain penelitian untuk mendapatkan metode yang efektif dan optimal secara fisik dan kimia untuk mendapatkan minyak dari alga, perlu juga dilakukan penelitian secara genetik untuk dapat menghasilkan induvidu-induvidu alga yang dapat memproduksi minyak yang lebih banyak.

HUBUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM PESISIR


            Lingkungan pesisir merupakan lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh pencampuran massa air laut dan air sungai terutama didaerah perairan estuaria.  Sungai-sungai membawa materi-materi yang berasal dari daratan yang merupakan hasil kegiatan alamiah maupun kegiatan manusia yang bermuara di perairan estuaria.  Sekarang ini salah satu penyebab terjadinya degradasi ekosistem estuaria adalah akibat penggunaannya sebagai daerah pembuangan limbah secara terus menerus (Lestari dkk., 2006).
            Penggunaan daerah estuary sebagai tempat pembuangan limbah secara tidak langsung mengakibatkan rusaknya ekosistem di daerah pesisir. Salah satu ekosistem yang terdapat di daerah pesisir tempat hidup banyak biota laut adalah ekosistem terumbu karang.  Menurut Ministery of State for Environment (1996)(dalam Supriharyono, 2000) dari luas terumbu karang yang ada di Indonesia sekitar 50.000 km2 diperkirakan hanya 7% terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33% baik, 46% rusak dan 15% lainnya kondisinya sudah kritis.  Kerusakan terumbu karang tersebut dipastikan sebagai akibat aktivitas manusia yang secara langsung dan tidak langsung, sengaja atau tidak tanpa memperhitungkan dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya.
            Stoddart (1969) (dalam Supriharyono, 2000) mengatakan secara biologis terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif di perairan tropis dan bahkan mungkin di seluruh ekosistem baik di laut maupun di daratan karena kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrient dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar.  Selain itu terumbu karang yang sehat memiliki keragaman spesies penghuninya dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak.  Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan (Abubakar, 2001).  Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Oleh karena itu jika terdapat banyak pencemar di dalam ekosistem terumbu karang menyebabkan biota yang ada di dalamnya akan terkena racun dan mengakibatkan keanekaragaman hayati di ekosistem tersebut berkurang.  Berikut adalah beberapa contoh kegiatan yang merusak ekosistem terumbu karang.
No.
Kegiatan
Dampak potensial
1.
Penambangan karang dengan atau tanpa bahan peledak
Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu
2.
Pembuangan limbah panas
Meningkatnya suhu air 5-10oC di atas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota lainnya.
3.
Pengundulan hutan di lahan atas
Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen  ke dalam polib.
4.
Pengerukan di sekitar terumbu karang
Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.
5.
Kepariwisataan
·         Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan
·         Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
·         Kerusakan fisik karang karena jangkar kapal
·         Rusaknya karang oleh penyelam.
·         Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.
6.
Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)
Mengakibatkan ikan pingsan, memati-kan karang dan biota avertebrata.
7.
Penangkapan ikan dengan ba-han peledak
Mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang.
Tabel 1 : Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Terumbu Karang
[Sumber : Abubakar, 2001]

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar.2001. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Melalui Pendekatan Agribisnis dan Agro-Industri Dala Upaya Penanggulangan Kerusakan Terumbukarang. Program Pasca Sarjana S3. IPB. 10 hlm.

Lestari, Manik, J.M. & Rozak, A. 2006. Kualitas perairan teluk klabat di tinjau dari aspek logam berat. Seminar Nasional Tahunan Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawidjaja. 12 hlm.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 247 hlm.









  


BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN
           
            Rumput laut adalah salah satu sumberdaya hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Dalam bahasa Inggris, rumput laut diartikan sebagai seaweed. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasosiasi dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan karang mati. Beberapa daerah pantai di bagian selatan Jawa dan pantai barat Sumatera, rumput laut banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal yang melindungi pantai dari deburan ombak. Di pantai selatan Jawa Barat dan Banten misalnya, rumput laut dapat ditemui di sekitar pantai Santolo dan Sayang Heulang di Kabupaten Garut atau di daerah Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang. Sementara di daerah pantai barat Sumatera, rumput laut dapat ditemui di pesisir barat Provinsi Lampung sampai pesisir Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (DKP, 2003).
            Selain hidup bebas di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak dibudidayakan oleh sebagian masyarakat pesisir Indonesia. Sebagai komoditas andalan ekspor hasil perikanan budidaya, rumput laut mengandung senyawa polisakarida, seperti keraginan yang berasal dari Eucheuma spp, agar-agar yang berasal dari Gracilaria, Gelidium, dan alginat dari Sargassum, Turbinaria, dan laminaria.  Perairan Indonesia memiliki kekayaan berbagai jenis rumput laut, Ekspedisi Sibolga pada tahun 1928--1929 melaporkan ada 555 jenis rumput laut (van Bosse, 1928 dalam Sulitijo, 1985). Dari jenis-jenis tersebut yang mempunyai nilai ekonomis sebagai komoditi perdagangan adalah kelompok penghasil agar-agar (Gracilaria, Gelidium, Gelidiella dan Gelidiopsis) dan kelompok penghasil karaginan (Eucheuma dan Hypnea). Rumput laut marga Gracilaria dan Eucheuma mempunyai potensi untuk dibudidayakan. Percobaan-percobaan budidaya Eucheuma dan Gracilaria telah dilakukan oleh Lembaga Oseanologi Nasional - LIPI, Balai Penelitian Perikanan Laut Litbangkan, Dinas-dinas Perikanan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Sulitijo, 1985).
            Beberapa daerah dan pulau di Indonesia yang masyarakat pesisirnya banyak melakukan usaha budidaya rumput laut ini diantaranya berada di wilayah pesisir Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Lombok, Sulawesi, Maluku dan Papua. Budidaya laut di Maluku  telah dikembangkan sejak tahun 1980-an yaitu budidaya  mutiara  dan ikan  hias, sedangkan budidaya rumput laut baru dikembangkan sekitar tahun 1994 dengan  sekitar 100 petani yang menjalin pola kemitraan dengan  perusahan asing.  (Dinas Perikanan  Propinsi Maluku, 1998 dalam Putinella, 2001). Meningkatnya minat petani untuk melakukan  budidaya rumput laut disebabkan murahnya  biaya yang dikeluarkan dan teknologi yang digunakan relatif sederhana.
            Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang relatif mudah dibudidayakan dengan biaya yang relatif murah dan memiliki nilai ekonomis. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan baku industri obat-obatan, tekstil, kosmetik dan lainnya. Rumput laut merupakan salah satu komoditas pilihan dalam program intensifikasi budidaya ikan. Untuk mengoptimalkan pengembangan rumput laut maka perlu diperhatikan teknologi yang diterapkan.

B. BUDIDAYA DAN MANFAAT RUMPUT LAUT

       Budidaya laut (mariculture) bertujuan untuk meningkatkan biomassa lapangan per area substrat dibawah kondisi  terkontrol atau semi kontrol. Lebih jauh, usaha budidaya laut mempunyai dua jalur, yaitu; budidaya makroalga untuk komersial secara langsung dan budidaya planktonik alga yang digunakan sebagai makanan  herbivora (udang dan kerang-kerangan)  (Chapman and Chapman, 1980 dalam Putinella, 2001). Budidaya dapat melestarikan dan meningkatkan produksi rumput laut (Papalia, 1990 dalam Putinella, 2001)
       Committee for Marine Aquaculture  USA  (1992) dalam laporannya menjelaskan bahwa budidaya rumput laut telah dikembangkan secara komersial di Cina, Jepang, Taiwan, Korea, Filipina, dan Indonesia. Rumput laut ini digunakan sebagai bahan  makanan, ekstraksi agar- polisakarida, asam algenik  dan karaginan (Putinella, 2001).
       Usaha budidaya rumput laut di perairan pantai Bali telah berkembang sejak tahun 1984, namun sebetulnya telah diperkembangkan sejak  1979. Daerah –daerah utama penghasil rumput laut di Bali antra lain; Nusa Lembong, Nusa Cemingas, Nusa Penida, dan Nusa Dua (Noor, 1990).
       Jenis alga merah banyak digunakan  sebagai obat tradisional di Cina. Analisa kimia  menunjukan  bahwa alga tersebut mengandung senyawa terpenoid, asetogenik maupun senyawa aromatik.  Umumnya senyawa yang ditemukan pada alaga merah bersifat anti mikroba, anti inflamasi, anti virus  dan bersifat sitoksis (Simanjuntak, 1995). 

C. Pemilihan Lokasi

 

            Pemilihan lokasi budidaya rumput laut merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Pilihlah lokasi pesisir pantai yang tidak tercemar  sampah industri, limbah rumah tangga dan lainnya yang dapat meningkatkan kekeruhan air, karena kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas air laut, yang pada akhirnya akan menurunkan daya dukung lingkungan terhadap perkembangan rumput laut yang dikembangkan. Berikut adalah beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk penentuan lokasi budidaya rumput laut.
1. Faktor Resiko
  • Lokasi terlindung, biasanya terdapat pada perairan teluk
  • Lokasi aman dari pencurian dan konflik kepentingan
2. Faktor Kemudahan
  • Sarana transportasi
  • Sarana budidaya
  • Pemasaran hasil panen
3. Faktor Ekologis
  • Arus : 20 - 40 cm/detik, suhu 20 - 28O Celcius, indikator lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun.
  • Dasar Perairan : pecahan karang dan pasir kasar
  • Kedalaman air : 30 - 60 cm saat turun terendah
  • Salinitas : bersifat stenohalin antara 28 - 35 ppt, dengan nilai optimum 33 ppt
  • Kecerahan perairan ideal 1 meter
  • Pencemaran : lokasi terhindar dari limbah
  • Ketersediaan bibit : dilokasi terdapat stock bibit
  • Tenaga kerja : berdomosili disekitar lokasi budidaya
(DKP, 2003)
            Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi adalah, sebaiknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, supaya mudah melakukan pengawasan. Lokasi juga  harus  ada sarana jalan untuk pengangkutan bahan, sarana budidaya bibit, tempat penjemuran dan mudah dalam pemasaran hasil (FAO Indonesia, ?).

D. PENGADAAN BIBIT

            Untuk mendapatkan hasil panen yang baik diperlukan penggunaan bibit rumput laut yang berkualitas unggul. Kriteria bibit unggul yang digunakan adalah sebagai berikut:
  • Bercabang banyak, rimbun dan runcing
  • Bibit harus baru, cerah dan masih muda
  • Thallus tidak berlendir serta rusak / patah-patah
  • Tidak bercak dan terkelupas, tidak berbau busuk
  • Umur 25 - 35 hari
  • Pengangkutan bibit harus hati-hati, tetap basah/terendam air laut
  • Bibit harus terlindung dari minyak, kehujanan dan kekeringan dalam penyimpanan
  • Berat bibit yang ditanam antara 50 - 100 gram per rumpun
  • Tidak ada bagian thallus yang transparan tidak berpigmen
  • Tidak terkena penyakit ice-ice
(DKP, 2003)

E. Metode Budidaya

              Sunarto (1995) (dalam Putinella, 2001) dan (FAO Indonesia, ?), menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) macam metode budidaya rumput laut yang saat ini dikembangkan, yaitu :
·         Metode Lepas Dasar. Metode lepas dasar menggunakan patok-patok dari kayu yang ditancapkan dan tali-tali yang dibentangkan antara patok tersebut. Metode tersebut sesuai dan mudah pada kedalaman 1,0 – 2,5 meter, sesuai tetapi sulit pada kedalaman 2,5 – 5,0 meter, dan hanya untuk penyimpanan bibit pada kedalaman   > 5,0 meter. Substrat yang baik adalah rataan karang atau pasir  dan pasir dengan hancuran karang. 
Gambar 1. budidaya rumput laut metode lepas dasar
[ Sumber: FAO indonesia: ?]

·         Metode Rakit Apung. Metode rakit apung cocok dilakukan pada perairan berkarang, karena pergerakan air didominasi ombak, sehingga penanamannya dengan menggunakan rakit bambu/kayu. Metode ini sesuai dan mudah pada kedalaman  1,0 – 2,5 meter. (Gambar 2).
Gambar 2. budidaya rumput laut metode rakit apung
[ Sumber: FAO indonesia: ?]

·         Metode Long Line. Metode ini menggunakan tali panjang 50 – 100 meter yang dibentangkan, dan pada kedua ujungnya diberi jangkar serta pelampung besar. Setiap 25 meter diberi pelampung utama terbuat dari drum plastik. Metode tersebut cocok pada daerah perairan yang dalam dengan ombak yang tidak begitu kuat atau daerah terlindung (Gambar 3).
 Gambar 3. budidaya rumput laut metode long line
[ Sumber: FAO indonesia: ?]

F. Perawatan rumput laut

Hal-hal yang harus dilakukan dalam perawatan adalah :
1.    Bersihkan tanaman dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga tidak menghalangi tanaman dari sinar matahari dan mendapatkan makanan.
2.    Jika ada sampah yang menempel, angkat tali perlahan, agar sampah-sampah yang menyangkut bisa larut kembali.
3.   Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau putus,  segera diperbaiki dengan cara megencangkan ikatan atau mengganti dengan tali baru.
4.  Waspadai penyakit ice-ice, yaitu adanya tanda bercak-bercak putih pada rumput laut. Jika ada tanda tersebut, tanaman harus dibuang, karena dapat menularkan penyakit pada tanaman lainnya. Kalau dibiarkan, tanaman akan kehilangan warna sampai menjadi putih dan akhirnya mudah putus.
5.   Untuk menghindari penyakit ice-ice, lakukan monitoring terhadap setiap tanaman, sehingga jika ada tanaman memutih bisa dilakukan pemotongan. Cara lain menghindari penyakit ice-ice adalah dengan menurunkan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi panetrasi banyaknya sinar matahari, karena penyakit ini biasanya terjadi pada daerah pertanaman yang terlalu tinggi dengan permukaan air. Karena itu disarankan agar tanaman berada 1 meter dibawah permukaan air.
6.  Hama rumput laut yang harus diwaspadai antara lain adalah : (a). Larva bulu babi (Tripneustes sp) bersifat planktonik yang melayang-layang di dalam air, lalu menempel pada tanaman.  (b). Teripang (Holothuria sp) mula-mula menempel dan menetap pada rumput laut, lalu membesar dan dapat memakan rumput laut dengan menyisipkan ujung cabang rumput laut ke dalam mulut.
Walaupun hama tersebut pengaruhnya kecil menyerang pada areal budidaya yang cukup luas, namun tetap perlu diwaspadai. Untuk menghindarinya, bisa dilakukan pemasangan jaring pada keliling areal tanaman.
(FAO Indonesia, ?).

G.  Pemanenan

            Pemanenan rumput laut sangat tergantung dari tujuannya. Jika tujuan memanen untuk mendapatkan bibit, pemanenan dilakukan pada umur 25 – 35 hari. Kalau  ingin mendapatkan kualitas tinggi dengan kandungan Karaginan banyak,  panen  dilakukan pada umur 45 hari (umur ideal).
Pemanenan rumput laut dapat dilakukan dengan dua cara :
·         Pertama memotong sebagian tanaman. Cara ini bisa menghemat tali pengikat bibit, namun perlu waktu lama. Disisi lain, sisa-sisa tanaman rumput laut yang tidak ikut dipanen pertumbuhannya lambat, sehingga kualitasnya rendah.
·         Kedua, mengangkat seluruh tanaman. Cara ini memerlukan waktu kerja yang singkat. Pelepasan tanaman dari tali dilakukan di darat dengan cara memotong tali. Kelebihan cara ini adalah, dapat melakukan penanaman kembali dari bibit-bibit rumput laut yang masih muda dengan laju pertumbuhan tinggi.
(FAO Indonesia, ?).

H. Pasca Panen

 

            Mengingat mutu rumput laut kering bernilai lebih tinggi dibanding yang basah, perlakuan pasca panen sangat menentukan harga rumput laut. Untuk itu, setelah panen dilakukan, segera dikeringkan langsung dibawah terik sinar matahari dengan meletakkan rumput laut pada para-para atau dialas, sehingga tidak tercampur pasir, tanah dan benda lainnya. Sambil dilakukan penjemuran, lakukan sortasi dengan cara mengambil benda-benda asing seperti batu, sampah dan lainnya. Jika cuaca baik, dalam waktu 3-4 hari rumput laut sudah kering yang ditandai dengan warna ungu keputihan dilapisi kristal garam dan alot untuk dipatah. Untuk mendapatkan rumput laut berkualitas dan dihargai tinggi, lakukan pengayakan untuk memisahkan pasir dan garam yang terdapat pada rumput laut.
(FAO Indonesia, ?).



DAFTAR PUSTAKA


DKP. 2003. Budidaya rumput laut (Eucheuma colonii) metode rakit apung. 28 juni. 3 hlm. http://www.dkp.go.id/content.php?c=1305. 12 November 2007. pk. 13.32
FAO Indonesia, ?. Budidaya Rumput Laut dengan Metode Lepas Dasar   Sebagai Pekerjaan Sambilan Nelayan yang Menguntungkan (Jeneponto, Sulawesi Selatan). ?. 5 hlm. http://www.fao.org/spfs/indonesia/index_en.asp. 30 November 2007. pk.13.54
Noor, Z., 1990. Sistem Tanam dan Kualitas Rumput Laut. Buku Panduan dan kumpulan  Abstrak Seminar Ilmiah Nasional Lustrum VII Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta , 20-21 September 1990.
Putinella, J.D. 2001. Evaluasi  lingkungan  budidaya  rumput  laut   di  teluk bagula, maluku. Usulan Penelitian Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta: 27 hlm. 
Simanjuntak, P., 1995. Senyawa Bioaktif dari Alga. Hayati, Jurnal Biosains. Penerbit  Jurusan Biologi FMMIPA, IPB, Bogor.
Sulitijo, 1985. Budidaya Rumput Laut. SEAFARMING WORKSHOP REPORT    BANDAR LAMPUNG 28 OCTOBER - 1 NOVEMBER 1985 PART II -TECHNICAL REPORT. Bandar Lampung: 4 hlm.